Bagi
banyak orang, mungkin motorku sudah layak untuk segera dimusiumkan.
Namun aku berpendapat lain. Terlalu banyak kenangan yang aku punyai
dengan motor ini. Berderet-deret peristiwa dan kejadian yang telah
kulalui dengan motor butut ini. Motor ini pernah sangat berjasa
mengantarku ke sekolah tiap hari di tiap pagi sewaktu masih SMA dulu,
mulai dari kelas satu hingga akhirnya aku lulus. Motor yang setia
mendengar keluh kesahku dikala aku sedang gelisah, menemaniku
menghabiskan malam sambil duduk merenung di sudut remang kota. Motor
yang mengajarkan padaku, bahwa ternyata hidup prihatin itu bisa pula
dinikmati.
Namun
dibalik semua kisah itu, motor inilah yang mengajarkan padaku, bahwa
memang masih ada perempuan yang tak menilai laki-laki hanya dari materi
semata. Mengajarkan bahwa kesetiaan dan menerima apa adanya ternyata
masih bisa ditemui di tengah dunia yang makin materialis dan penuh
perhitungan untung-rugi.
Aku
mengenal Marieta ketika aku memasuki kuliah semester dua. Kami memang
satu angkatan. Namun aku termasuk laki-laki yang sulit untuk bisa
bergaul cair dengan teman lawan jenis. Sehingga tak mengherankan, aku
baru bisa banyak kenal dengan teman perempuan ketika sudah menginjak
semester dua, Marieta adalah satu diantaranya.
Sebenarnya
semuanya bermula biasa saja. Aku mulai dekat dengan Marieta ketika aku
sering meminjam catatan kuliahnya. Maklum saja, aku termasuk mahasiswa
yang rajin sekaligus pemalas. Rajin membolos dan kalau toh pun masuk
kuliah, aku sangat malas mencatat. Mengapa aku suka meminjam catatan
Marieta pun sebenarnya sederhana saja. Dia termasuk mahasiswa yang
sangat jarang membolos, catatannya sangat lengkap dan tulisannya mudah
dibaca. Untungnya pada semester dua itu, semua mata kuliah yang aku
ambil, Marieta juga mengambilnya. Walaupun ada sedikit perbedaan antara
mata kuliah yang dia ambil dengan yang aku ambil. Tentunya mata kuliah
yang dia ambil lebih banyak daripada yang aku ambil. Sebuah hal lumrah
bagi seorang mahasiswa seperti aku.
Akhirnya
tanpa sadar, seringkali pula aku mengembalikan catatan sampai harus
pergi ke kosnya. Memberikan catatan, dilanjutkan dengan ngobrol
sebentar, lalu pulang. Satu dua kali tak mengapa, tak terasa ada
perbedaan. Semuanya biasa saja. Namun lama kelamaan, kebiasaan ngobrol
setelah mengembalikan catatan seringkali dilanjutkan dengan makan
bersama. Terkadang makan di warung sebelah kosnya, namun lebih sering
makan masakannya sendiri. Bagi lidahku masakannya termasuk enak, tak
kalah dengan masakan warung sebelah kosnya.
Mungkin
benar kata orang Jawa, witing tresna jalaran saka kulina. Datangnya
cinta karena pertemuan yang sering dan berlangsung lama. Sejak sering
ngobrol, makan bersama, kami pun lama-kelamaan suka saling curhat. Dari
saling curhat itulah aku mulai merasa bergantung kepadanya, merasa
membutuhkannya, merasa nyaman didekatnya dan ingin selalu ada di
dekatnya. Ada satu hal yang berubah semenjak aku dekat dengan Marieta,
aku jadi jarang bolos kuliah lagi. Sesuatu yang tidak pernah aku
bayangkan sebelumnya. Bisa jadi akibat dari aku, dengan terpaksa namun
bahagia, sering mengantar dan menjemputnya ketika pergi kuliah.
Pada
pertengahan semester tiga pun kami mulai jadian. Pertama jadian,
sebenarnya aku merasa kurang percaya diri. Maklum saja, seminggu setelah
jadian aku baru mengetahui kalau dia ternyata anak seorang pengusaha
sukses. Jauh berbeda dengan aku yang anak pegawai biasa, yang bisa
kuliah dengan nyambi jaga warnet kepunyaan pakdhe. Lumayanlah, untuk
bisa membayar SPP tiap semester dan sekedar jajan. Aku kira dia anak
orang biasa seperti aku. Kos-kosannya biasa saja, tidak terlalu banyak
fasilitas yang tersedia. Membuat tugas kuliah juga di rental komputer.
Seringkali pula dia lebih suka memasak sendiri daripada membeli makanan
di warung. Dia juga suka memcuci bajunya sendiri daripada menyerahkannya
ke laundry atau tukang cuci. Bukan karena tidak punya uang, tetapi
katanya biar dia bisa belajar mandiri.
Aku
baru mengetahui semuanya ketika salah seorang teman kosnya bercerita
padaku. Meskipun teman kosnya pernah berjanji pada Marieta tidak akan
pernah bercerita tentang latar belakang keluarganya pada siapapun.
Hingga akhirnya setelah sebulan kita jadian, aku memberanikan diri
bertanya padanya. Apakah dia tidak merasa malu, punya pacar anak orang
biasa-biasa saja, hanya punya sebuah motor lawas, tidak ber-HP, di
kampus nggak pintar-pintar amat dan punya wajah yang berada di bawah
standar pasar. Sedangkan dia anak orang kaya, cakep, rajin, pintar lagi.
Belum lagi masih banyak teman-teman kampus lain yang lebih kaya dan
cakep dariku yang juga menaruh hati padanya. Mengapa dia lebih memilih
aku daripada mereka. Namun apa jawaban yang aku dapat. Sambil memegang
kedua tanganku dia berujar, “Ternyata kamu sudah tahu ya kalau ternyata
aku anak orang… Hmm, namun bagiku ketulusanmu, kejujuranmu, kemauanmu
untuk terus maju dan berubah serta perhatianmu sudah merupakan lebih
dari cukup bagiku.” Sebuah jawaban yang sanggup menenangkan hatiku.
Satu
hal yang paling aku sukai dari Marieta, dia sangat menghargai rasa
sayangku terhadap motor bututku. Dia menyadari bahwa sudah terlalu
banyak kenangan yang pernah aku lalui dengan motorku itu. Dia pun tak
pernah keberatan aku antarkan kemanapun dengan motor itu. Pernah dia
berujar, “Tahukah kenapa aku sangat suka naik motormu ini, Mas?” Sebelum
aku sempat menjawab dia menimpali, “Dengan naik motor ini, waktu kita
berduaan semakin lama. Karena motor ini nggak bisa ngebut. Satu lagi
yang aku sukai dari motormu, pastinya nggak ada cewek selain aku yang
mau kamu bonceng dengan motormu ini.”
Sebuah
jawaban yang sempat membuat aku sewot dengannya seharian. Namun sebelum
sewot hari itu berubah menjadi kejengkelan, sambil menyuguhi aku
segelas kopi panas dia berujar, “Tadi cuman guyonan kok, Mas. Jangan
marah ya. Sebetulnya, dengan motor itu, aku menemukan sebuah sosok yang
sederhana dan mau terbuka dengan orang lain tentang keadaanmu yang
sebenarnya. Itulah yang membuatku tertarik padamu. Kamu mempunyai
kepribadian yang kuat.”
Motor
butut dan Marieta mengajarkanku banyak hal. Tentang makna-makna yang
tersembunyi di balik simbol-simbol. Yang mungkin jarang kita tangkap,
kita mengerti dan kita pahami.
Semua
orang di kampus sudah mengetahui tentang hubungan kita. Walaupun
terkadang mereka juga tidak percaya sepenuhnya. Mungkin karena ketika di
kampus, kita sangat jarang terlihat berduaan. Memang sewaktu berangkat
dan pulang kita berboncengan dengan motor bututku. Namun setelah itu,
entah aku ke utara dan dia ke selatan, itu adalah hak masing-masing.
Baru nanti pada jam yang telah disepakati sebelumnya kita bertemu di
bawah pohon beringin di parkiran.
Namun
itu pun juga berangsung hanya sampai pertengahan semester lima. Pada
semester lima kami sering berbeda jadwal, apalagi sekarang pakdhe
membuka warnet baru dan aku diminta untuk mengelolanya. Sedangkan
Marieta makin hari juga makin larut dengan aktifitasnya di lembaga pers
mahasiswa di fakultas. Semua itu memunculkan konsekuensi, kami mulai
jarang bertemu. Yang biasanya kami tiap hari bertemu, sekarang berangsur
berkurang menjadi tiga hari sekali. Untungnya kami bisa saling belajar
untuk saling memahami kondisi masing-masing. Pernah pula pada suatu
waktu, kami tak bertemu selama seminggu dan ketika aku telpon dia di
kos. Dia menjawab dengan nada sewot, padahal pada saat yang sama aku
harus segera ke warnet. Karena ada beberapa komputer yang bermasalah.
Terpaksa, hari itu aku mengajaknya berkencan di warnet baru pakdhe.
Sekali dayung dua pulau terlampaui.
Sejalan
dengan waktu tak terasa hubungan kami sudah berlangsung selama tiga
tahun. Bagiku hubungan antara aku dan Marieta cukup menarik. Latar
belakang yang berbeda membuat kami harus saling berkerja keras untuk
bisa saling memahami. Tak jarang pula salah paham terjadi. Mulai dari
hal-hal yang kecil dan remeh sampai hal-hal yang prinsipil. Walaupun
akhirnya bisa diatasi dengan berdiskusi dan saling instropeksi.
Untaian
waktupun akhirnya memaksa kita untuk harus segera menyelesaikan kuliah.
Untunglah segalanya berjalan lancar, walaupun seringkali aku tak bisa
mengantarkannya ketika harus berburu buku atau data-data skripsi.
Ternyata ada hikmah dari kondisi kami yang jarang saling bertemu. Kami
mulai mengurangi ketergantungan satu sama lain.
Walaupun
kami menyelesaikan skripsi tidak bersamaan, namun kami memutuskan untuk
wisuda bersama. Pada waktu itu akulah yang bisa menyelesaikan skripsi
terlebih dahulu. Baru enam bulan kemudian, Marieta menyelesaikan
skripsinya. Kami berharap dengan momen wisuda besok, kami bisa
mempertemukan kedua keluarga kami. Kami berdua ingin bahwa hubungan yang
telah lama terjalin ini terus berlanjut ke tahapan yang lebih serius.
Seiring
berjalannya sang waktu, akupun sekarang ada di sini. Di sebuah rumah
sederhana di pinggiran kota Yogyakarta. Sedang menikmati indahnya minggu
pagi sambil mengelus-elus motor lawas kesayanganku yang sudah tak butut
lagi. Sedangkan Marieta dan anak kami yang sudah menginjak usia tiga
tahun sedang bermain di halaman belakang. Memang, kami akhirnya menikah
dan berkeluarga. Aku sekarang bekerja dengan membuka toko komputer di
bilangan pusat kota, sedangkan Marieta membuka tempat penitipan anak dan
play group di rumah sebelah. from: http://www.burahol.com/2011/05/cerita-pendek.html